Bintang Kejora & Jati Diri Papua

by -1613 Views

Jakarta, PASTI Indonesia – Sampai saat ini, mungkin hampir semua khalayak umum masih belum memahami Bintang Kejora sebagai bagian spirit religius dan kultural Masyarakat Papua. Bintang Kejora sendiri bagi masyarakat papua secara religius dianggap sebagai Bintang Fajar, bintang yang biasanya terbit dini hari sebelum fajar menyingsing, yang merupakan implementasi  harapan dan semangat memulai kehidupan.

Bintang Kejora sendiri kerap digeneralisasi oleh beberapa media besar sebagai Lambang OPM, sedangkan dua hal itu adalah persoalan yang berbeda, Bintang Kejora sendiri merupakan lambang spirit religius dan kultural Masyarakat Papua, sedangkan OPM adalah sebuah gerakan perlawanan bersenjata, dan lambang daripada OPM sendiri adalah Burung Mambruk dengan Slogan “One People One Soul”.

Bintang Kejora sebagai Simbol Kultural  Papua

Seperti yang kita ketahui bersama, Papua sendiri memiliki Kekhususan dalam otonomi, sebagaimana beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Aceh yang memiliki predikat daerah Istimewa, demikian dengan Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua sendiri menjelaskan “Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dansimbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk benderadaerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.”

Yogyakarta dan Aceh memiiki bendera Kultural, lalu mengapa hanya untuk Papua, bendera Kultural dianggap sebagai bendera Organisasi terlarang?. Aceh sendiri merupakan Daerah Istimewa termuda yang diatur berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dan Papua sendiri diatur dalam UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

Bintang Kejora di Era Gus Dur

Diera Pemerintahan Gus dur, yang dihujat sebagian orang dan pembesar di negeri ini sebagai Presiden “Buta” karena keterbatasan fisik.  Namun faktanya Gus Dur adalah Presiden yang paling memiliki Mata & Hati terkait Papua, dan bagi orang Papua, Gus Dur adalah “Dewa” yang paling mencintai orang Papua. di Era Gus Dur, Bintang Kejora berkibar sebagai Bendera Kultural Papua, yang dimana berkibar bersanding dengan Bendera Merah Putih. tentu dasar semua ini berdiri pada UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

Namun setelah Era Gus Dur, Bintang Kejora sendiri kemudian di stigma sebagai “Bendera OPM”, tepatnya di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007. SBY sendiri dalam beberapa Pidatonya, selalu menekankan Perlakukan Papua dengan HATI, namun faktanya setiap hari orang papua Mati dan hal semacam ini terjadi hingga pemerintahan sekarang yang notabenenya menyatakan “Betapa Pentingnya Papua bagi Indonesia“.

Makna Bintang Kejora Selalu Berubah mengikuti Era Pemerintahannya

Bintang Kejora yang notabenenya adalah simbol filosifis dan kultural bagi Masyarakat Papua, seiring perubahan kepemimpinan dalam pemerintah pusat, selalu mengalami Perubahan Makna. Jika di era Gus Dur makna Bintang Kejora lebih kepada Bendera Kultural, setelahnya berubah makna menjadi politis yakni bendera Separatis, dan kini berubah menjadi bendera Teroris. lalu untuk apa, Otsus berjilid-jilid sedangkan untuk persoalan kultural Papua saja masih menjadi polemik?! Otonomi Khusus yang seyogyanya di peruntukan bagi daerah, namun seolah kehilangan Marwah dan Roh-nya ketika semua kepentingan “Pusat” yang ditanamkan. Maka tidak heran kemudian muncul suara “Papua Punya Otsus, Jakarta yang Punya Kuasa”. Dan hal semacam ini hanya terjadi di Provinsi Papua saja, tidak dengan Provinsi lain yang memiliki Otonomi Khusus.

Akar Sejarah & Pola Penangganan Konflik yang Salah!

  • Akar Sejarah

Jika berbicara soal Papua, maka kita harus mengkaji kembali seluruh sejarah Papua dan Indonesia. Papua sendiri tidak pernah mengalami penjajahan oleh Belanda, Misi Belanda di Papua sendiri tidak dibawah VOC namun langsung dibawah komando Kerajaan Belanda, jika di Indonesia, pada umumya di kuasai oleh VOC dengan menerapkan Golden,Glory dan Gospel, maka kerajaan Belanda yang dibawah Perintah langsung Ratu Wilhelmina menerapkan Gospel dan Glory di Papua.

  • Soekarno mengambil alih Papua karena takut Papua di Jajah Belanda sebagaimana umumnya yang terjadi pada wilayah di Indonesia

Soekarno sendiri, menganggap apa yang belanda lakukan saat itu adalah bagian dari upaya penjajahan, dengan membentuk Negara Boneka, melalui Trikora 1961 kemudian Papua di rebut dari tangan belanda, hingga akhirnya berujung pada Pepera 1969. Tujuan awal soekarno sendiri pada saat itu jelas, yakni menolak adanya lagi pendudukan ataupun penjajahan Belanda di Asia-Pasifik, sebagaimana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Paska Trikora, hingga lahirnya New York Agreement, 15 Agustus 1962 yang nantinya akan dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (pepera) 1969. Dalam perjanjian New York Agreement sendiri, Belanda wajib menganggarkan 30 Juta USD pertahun untuk membangun Papua, dan Indonesia wajib menyelenggarakan Pepera pada 1969. Mimpi Soekarno untuk menyejahterakan Papua akhirnya pupus dalam waktu singkat, dimana beberapa tahun kemudian, tepatnya 1965, kekuasaanya sebagai Presiden telah di lucuti.

  • Pepera 1969

Sebagai kesepakatan dalam New York Agreement 1962, Indonesia wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dengan sistem One Man One Vote. Politik Dunia dan Indonesia menjelang Pepera 1969,berubah drastis. Pada tahun 1963, Jhon F. Kennedy terbunuh secara misterius, dua tahun kemudian di Indonesia, pada 1965, Soekarno di gulingkan dari kekuasaan, dan pada tahun 1967 dimana saat itu Indonesia belum memiliki Presiden, hanya Pejabat Sementara Pengganti Presiden, Soeharto, lahir LokaKarya Freeport 1967. Kemudian pada Pepera 1969, Sarwo Edhie Wibowo mengerakkan 1026 orang dari  Dewan Musyawarah Papera mewakili 800.000 Jiwa rakyat papua untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia dalam Pepera 1969. Walaupun jelas terjadi kesalahan dalam penerapan sistem yang diwajibkan dalam New York Agreement 1962, yakni harus “One Man One Vote”, namun berkat lobby Amerika yang telah memiliki kepentingan di Papua, yakni Freeport yang kemudian menjadi Roda Pembangunan Ekonomi Amerika. PBB kemudian menSahkan Papua adalah bagian dari Indonesia.  Pada Loka Karya Freepor 1967 itu sendiri, berapa besar keuntungan yang seharusnya di dapat oleh Indonesia, mulai dari 1967 hingga saat ini, belum pernah di release dan di laporkan secara jelas.

Pola Kekerasan dan Militerism dalam Penangganan Konflik

Sejak bergabungnya Papua dengan Indonesia, jalan dialog tidak pernah dipakai untuk menyelesaikan setiap persoalan di Papua, bahkan hal seperti Demonstrasi saja dihadapkan dengan moncong senjata, penolakan terhadap perampasan Tanah Ulayat dihadapkan dengan intimidasi. Kekerasan seolah menjadi jalan utama penyelesaikan persoalan di tanah Papua, padahal tanpa di sadari, penerapan pola kekerasan hanya akan melahirkan semakin banyak api perlawanan. Dan jalan kekerasan tidak akan menyelesaikan apapun di tanah Papua!

PAPUA adalah Indonesia ?

Secara de jure, dalam putusan PBB sendiri melalui Pepera 1969 yang penuh dengan intrik dan tekanan, menyatakan Papua masuk menjadi bagian dari Indonesia. Namun secara De Facto, hingga saat ini Masyarakat papua masih hidup dalam tekanan, dan Papua masih menjadi Provinsi Miskin yang notabenenya kekayaan alamnya paling besar. Masyarakat masih hidup dalam perasaan takut,dan kerap masih mendapatkan perlakuan Diskriminasi dan Rasis. Jika benar Papua adalah Indonesia, maka perlakukan Masyarakat Papua seperti Rakyat Indonesia lainnya, sebagai Rakyat Indonesia yang merdeka. Jangan hanya menjadikan Papua sebagai Etalase Pemilu, dimana setiap akan diadakan perhelatan Pilpres, semua berbondong=bondong membicarakan Papua, namun setelah itu lupa memanusiakan Masyarakat Papua, dan hanya di sibukkan dengan “berbagi” kekayaan Papua ke Koalisi, Kolega dan Kelompok.

Pembiaran Korupsi, Pembodohan dan Ketimpangan Sosial 

Masalah kesejahteraan adalah masalah utama di Papua, hidup dengan kekayaan Alam terbesar, tidak membuat Masyarakat Papua sejahtera. Bahkan setiap hari tercatat orang papua mati, karena ketamakan daripada oknum-oknum yang haus akan Kekayaan Alam di Tanah Papua. Dan ketimpangan sosial seolah sengaja di ciptakan, dimana orang Asli Papua, selalu di dorong masuk dalam sistem pemerintahan, sedangkan mereka yang berusaha mandiri untuk berperan aktif dalam dunia ekonomi, di persulit dan jarang diberikan kesempatan. Dan hal ini kemudian menjadi retan dan kerap mendorong terjadinya konflik horizontal antar masyarakat Asli dengan Pendatang!

Korupsi menjadi system Pembodohan dan Pembiaran

Korupsi di Papua adalah sebuah sistem pembodohan yang sengaja dibiarkan, Pemerintah pusat sendiri mengetahui berapa maraknya korupsi di Tanah Papua, namun faktanya tidak ada tindakan tegas terkait itu, dan seolah menikmati hal tersebut sebagai bagian “cuci tangan” ketika terjadi sorotan terkait Ham dan ketimpangan sosial di Tanah Papua, kepala-kepala daerah yang ter”catat” Korup yang didorong maju untuk bersuara menjawab tudingan-tudingan HAM tersebut. Selain itu kasus korupsi menjadi ATM wajib bagi para penegak hukum di daerah dan pusat, dan hal ini bukan lagi menjadi rahasia umum.

System Pembodohan

Papua sendiri adalah Daerah Otonomi Khusus, dan sebagaimana UU Otsus Papua, Papua berhak memiliki Partai Lokal, namun faktanya sampai detik ini, Papua sendiri kesulitan untuk mengoalkan Partai Lokal, terakhir Partai Lokal yang sudah berdiri, dibekukan secara Nasional hanya dengan alasan Bahwa dalam Otsus Papua tidak dijelaskan seperti apa Partai Lokal Papua itu.

Akhirnya, setiap Kepala Daerah yang harus maju dalam Pilkada, diwajibkan “membeli” dukungan Parpol, dalam investigasi PASTI Indonesia sendiri, seorang kepala daerah sekelas Bupati, wajib menyiapkan Anggaran kurang lebih sekitar 20 Milyar hanya untuk menjadi seorang Kepala Daerah. Bagaimana tidak korupsi? belum apa-apa sudah harus pinjam sana sini, kemudian setelah itu harus mengembalikan uang pinjaman dengan mark-up proyek.

DIALOG adalah KUNCI

Dialog adalah jalan terbaik untuk penyelesaian konflik di Tanah Papua, bukan lagi kebijakkan diambil dari Jakarta, kemudian Papua mengikuti kebijakkan apa yang Jakarta buat, Masyarakat Papua butuh Fasilitas Pendidikan yang di bangun Barak Militer, masyarakat Papua butuh kesehatan mempuni berupa obat-obatan yang di kirimkan amunisi.

Bangun Papua dengan Hati sebagaimana yang  pernah dulu Gus Dur lakukan, melihat papua dengan mata hati agar dapat melihat papua itu bukan hanya harta kekayaan alam, namun dari cinta dan cita-cita pembangunan! Jangan adalah lagi HATI palsu yang di berikan ke papua, karena selama ini HATI yang diberikan tidak lebih hanya HArta dan TIndas, dimana melihat papua hanya dari harta kekayaan alam Papua, dan Penindasan pada rakyat terus di lakukan melalui pembodohan,pembiaran korupsi dan perampasan tanah ulayat! (Lex)

Pada 2011 lalu, PASTI Indonesia mendampingi aksi 1 Desember di depan Istana.

Monitoring & Pendampingan Aksi 1 Desember 2011 di Istana Merdeka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.