Siapa kita? Indonesia, Siapa kita? Indonesia. Akhir-akhir ini kalimat ini semakin tidak asing ditelinga kita, diawali oleh presenter sepak bola kocak bernama Valentino Simajuntak. Namun seolah berbanding terbalik dengan teriakan slogan tersebut, Kebhinekaan dan Keberagaman di Negeri ini masih terkoyak-koyak dengan sikap-sikap intoleransi yang kerap berujung pada kekerasan.
Stigma penistaan agama seolah menjadi hal yang mudah di tudingkan, seolah mengingatkan kita pada Bandel PKI di era OrdeBaru. Ada apa dengan negeri ini? kenapa dengan mudah kita masih dapat terpecah belah? kemana kerukunan beragama dan toleransi kita? semudah itukah saat ini kita di provokasi? se-beringas itu kah negeri kita saat ini?
Masyarakat seolah lebih mudah terbakar daripada bersabar, bukankah kita diajarkan lebih dahulu Tabayun? atau mengklarifikasi terlebih dulu dan mencegah konfrontasi? mengapa saat ini konfrontasi seolah adalah kewajiban dalam perjuangan membela keyakinan? membela keyakinan adalah sebuah keharusan sebagai seorang manusia yang ber-Agama, namun bukankah Agama sendiri mengajarkan cara-cara baik untuk memberikan teguran? tanpa harus melakukan kekerasan serta mendahulukan akal sehat.
Kemanakah Masyarakat Indonesia yang Ramah dan Toleran?
Dahulu Indonesia sangat dikenal dengan negara yang sangat indah, masyarakatnya Ramah, bahkan julukan The Smiling face of Islam melekat erat ketika negara lain berbicara soal Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai Rumah Pembelajaran Toleransi dan Keberagaman yang sempurna. Namun 10 tahun kebelakang, realitas seolah berubah, Masyarakat yang ramah menjadi masyarakat mudah marah,bila dahulu kita kenal dengan toleransi dan kerukunan antar umat seagama dengan antar umat beragama, seolah berubah hanya menjadi antar seagama dan antar sealiran.
Ada Apa dengan Kita?
Ada apa dengan kita semua saat ini? kenapa dengan mudahnya kita menjadi marah, sesama kita lebih mudah saling menghujat, disibukkan untuk mencari perbedaan daripada persamaan. Sadarkah kita, disisi lain kita telah membiarkan benih-benih permusuhan semakin tumbuh, ditambah dengan perkembangan teknologi yang tidak dibarengi dengan pengetahuan yang baik, semakin mudah membawa faham-faham kekerasan untuk tumbuh diantar benih permusuhan itu. Tidak kah berkaca pada Suriah? negeri indah yang hancur karena perang saudara.
Dahulu kita selalu diajarkan dan diingatkan bahwa tetangga adalah saudara terdekat kita,tolong-menolong dan tepo seliro (tenggang rasa) selalu ditanamkan pada prinsip itu. Namun kini, realitasnya semua itu telah mengikis dan digantikan dengan budaya baru, Elu-Elu Gue Gue. masing-masing hidup dengan kesibukannya, bahkan mungkin antar tetangga tidak saling mengenal dan hanya bertegur sapa bila kebetulan bertatap muka selayaknya formalitas etika.
Kita seolah semakin acuh dengan apa yang terjadi di lingkungan kita sendiri, kita seolah lupa bahwa bahaya perpecahan, intoleransi, radikalisme telah hidup diantara kita, dan kita membiarkan ruang itu terus terbuka. hasilnya Sedikit pergesekan yang ditambah bumbu hasutan dengan mudah melahirkan permusuhan yang berujung pada kerusuhan maupun perang antar Etnis, Ras dan Agama. Kita bisa melihat pada beberapa kasus seperti di Lampung, perang antar Etnis maupun beberapa kasus pengrusakan Gereja, pembakaran Vihara.
Toleransi yang telah berubah!
sebagaimana yang telah di tulis diatas, toleransi kita mulai berubah, dahulu toloransi/kerukunan antar umat seagama dan umat beragama, maka kini toleransi hanya terjadi bagi umat seagama dan sealiran. walau seagama namun tidak sealiran saat ini mungkin juga akan dianggap sebagai penistaan atau pemurtad-an, dan menariknya bila itu terjadi, maka sesuai dengan mereka yang menganut faham kekerasan, maka darah mereka yang melakukan penistaan dan pemurtad-an adalah halal untuk ditumpahkan. Beberapa contoh menarik bisa diambil terkait toleransi yang telah berubah, beberapa waktu seorang Ustad Muda dalam acara live kerohaniaan di salah satu tv swasta, melakukan kekhilafan dengan menyatakan “Kenikmatan Terbesar Yang Diberikan Allah SWT di Surga Adalah PESTA SEX“. usai persoalan itu merebak, maka permintaan maaf dilayangkan secara publik. Atas kekhilafan tersebut, dan dianggap masih muda, maka pintu maaf dibukakan, dan saat ini sang Ustad juga sudah kembali mengisi acara televisi tersebut. Bayangkan apabila hal tersebut dilakukan oleh orang awam, yang kebetulan berbeda keyakinan? mungkin hari ini darah yang bersangkutan telah tumpah atau sudah di pidana dan menikmati dinginnya jeruji tahanan.
Dalam hal ini yang ingin dibahas bukanlah membandingkan bedanya hukuman, namun mengapa sulit sekali bagi kita memberikan maaf bagi orang lain apabila terjadi hal serupa yang karena Kekhilafan dan ketidak pahamannya,terutama oleh mereka yang awam dan tidak sekeyakinan. Bukankah justru dengan membukakan pintu maaf bagi mereka yang tidak sekeyakinan justru mungkin akan memberikan orang tersebut Hidayah dan secara tidak langsung telah memberikan Siar Islam kepada yang bersangkutan bahwasanya Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin.
Pasal Penistaan Agama Dalam Aturan Hukum Indonesia (pasal 156a KUHP)
Dahulu ketika di jaman Orde Baru, pasal penistaan agama adalah senjata untuk menjerat para budayawan, sejarahwan dan para Kiyai ataupun Ustad yang berseberangan dengan Pemerintahan saat itu. beberapa nama yang sudah tidak asing lagi di publik yang pernah merasakan dinginnya sel tahanan karena pasal ini diantaranya adalah Budayawan, Arswento Atmowiloto dan Paranormal, KRT Permadi Satrio Wiwoho politisi senior PDI-P yang kini menjadi Politisi senior Gerindra.
Cukup ironis dengan pasal ini, lebih tepatnya menjadi pasal Karet. definsi terkait dengan penistaan agama seperti apa, jelasnya sampai saat ini masih menjadi kontroversi, serta batasan-batasan yang dapat di-katagorikan dan dikatakan sebagai penistaan itu seperti apa saja, juga masih multi tafsir. Bahkan berbahaya-nya pasal ini justru akan sangat membatasi pemeluk agama untuk berpikir dan berpendapat, karena salah berpendapat atau mengeluarkan pemikirannya dapat langsung dianggap melakukan penistaan agama.
Karena kurangnya definisi, batasan atau katagori jelas terkait dengan penistaan agama sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 156a KUHP, kerap kali keputusan Hakim akhirnya berakhir pada keyakinan Hakim yang diambil dari keyakinan publik dan desakan publik. Yang tentunya nilai keadilan itu sendiri menjadi multitafsir, adil mungkin bagi mereka yang mendukung hukuman tersebut, namun bagi mereka yang dianggap melakukan penistaan agama padahal itu mungkin hanya kekhilafan atau ketidakpahamannya, apakah itu menjadi adil?
Sepatutnya pasal terkait penistaan agama ini dikaji kembali, karena sangat ambigu. Kelak siapapun yang juga dapat dianggap melakukan penistaan agama, apabila pemikiran atau pendapatnya dinilai berbeda. karena ketidak jelasan definisi dan batasan serta katagori, akan sangat berbahaya bila kelak pasal ini menjadi salah satu alat kriminalisasi terhadap pemeluk agama atau yang menjalankan keyakinan lain yang belum diakui sebagai Agama di Indonesia.
Kasus Meliana Menampar kita Semua
Kasus Meliana, selain persoalan terkait dengan pasal karet dan putusan hukum yang tidak berkeadilan. yang dimana seorang Meliana yang menegur terkait volume Toa Mesjid di vonis dengan putusan 1,5 Tahun, namun disisi lain kasus meliana ini melahirkan pembakaran beberapa tempat ibadah di Tanjung Balai akibat provokasi yang ditambah dengan bumbu rasial. Hukuman untuk provokator dan para pelaku pembakaran hanya sebatas 3 (tiga) hingga 5 (lima) bulan, mungkin karena anologi Hakim yang terbangun adalah Pembakaran Rumah ibadah adalah milik minoritas, dan pengrusakan hanya terhadap Patung, dan Patung tidak mungkin bisa marah, sebagaimana Meliana yang dianggap membuat marah mayoritas disana. Apapun itu, Hakim telah menjatuhkan vonis terhadap para pelaku pembakaran, sebagai masyarakat yang taat hukum tentu kita harus hormati putusan HAKIM sebagai perpanjangan tangan Tuhan.
Tamparan Keras
Kasus ini adalah sebuah pukulan keras bagi kebhinekaan dan kerukunan umat beragama serta kehidupan kita bersosial dan bermasyarakat. Persoalan ini sebenarnya adalah persoalan sepele, yang dimana meliana sendiri mungkin salah dalam melakukan penyampaian, dan pihak yang lain salah dalam menanggapi yang diperparah dengan adanya provokasi Rasialis, yang berujung pada korban tidak bersalah lainnya seperti Rumah Ibadah yang kemudian dibakar massa.
Gambaran ini mengambarkan rentan sekali kehidupan bersosial dan bermasyarakat kita saat ini, rasisme masih mencengkram dengan baik di bumi pertiwi, kerukunan antar umat beragama semakin tercoreng dengan intoleransi serta mudahnya faham Radikalisme tumbuh subur. Sebenarnya jika ingin kita kaji, persoalan pertama dari kasus ini hanyalah persoalan antar tetangga, yang dimana saling mengenal. Namun karena Provokasi dan Hasutan, satu titi nila rusak susu sebelangga. seolah sebuah lukisan yang indah dahulu, kini nampak terkoyak-koyak.
Hal yang terjadi di Tanjung Balai ini hanya sebagian kecil rentetan persoalan keberagaman yang pernah terjadi di indonesia, apakah harus terus kita biarkan bangsa ini terpecah hanya karena Perbedaan Keyakinan,Perbedaan Warna Kulit, Suku maupun Ras? haruskan kita menyaksikan hal seperti ini terus terjadi? yang akhirnya mengantarkan Indonesia menjadi SURIAH Asia Tenggara. karena tidak dapat dipungkiri, aroma-aroma menuju kesana sudah merebak di Nusantara, faham Radikalisme mulai tumbuh subur, Toleransi yang semakin luntur serta Kekerasan yang seolah menjadi kewajiban untuk dilakukan bila terjadi Pertentangan dalam menyikapi perbedaan.
Kemajuan Teknologi, mengantarkan masyarakat menjadi semakin Anti-Sosial, masyarakat yang semakin sibuk dengan dunia baru mereka yang bernama dunia maya (cyber) dan kerap kali mengeyampingkan keadaan dan kejadian sosial yang berada di lingkungan mereka, dan fatalnya ketika sesuatu hal terjadi,mayoritas masyarakat hanya sibuk dengan menjadi wartawan kagetan, dimana sibuk mengabadikan lalu mensharekan tanpa berpikir efek daripada pemberitaan mereka, yang entah itu adalah konten hoax atau berbau provokasi perpecahan maupun rasialis, yang penting share dan mendapatkan rating like di dunia maya mereka. Dan hal yang kadang kerap dilupakan adalah, banyaknya anak-anak dan remaja yang ikut berselancar dalam dunia maya, yang tanpa disadari, konten kekerasan, konten faham-faham radikalis sangat mudah didapat, dan dengan mudah merasuki dan merusak pikiran mereka masih labil.
Indonesia adalah Rumah Bhineka yang harus di Jaga
Agar kelak tidak ada-lagi kejadian serupa, tidak ada lagi meliana-meliana lain. Adalah tugas kita bersama untuk menjaga, merawat dan memelihara kebhinekaan republik ini. Perhatikan lingkungan sekitar kita, tanamkan benih-benih kerukunan, jangan mudah terprovokasi, jangan mudah termakan hoax. Indonesia sudah terluka, Indonesia sudah berlinang air mata. Indonesia adalah kita, Indonesia adalah rumah kita, rumah untuk kita rawat bersama untuk generasi yang akan datang. apakah kita akan terus mewariskan masyarakat Pemarah, masyarakat yang mudah dipecah belah kepada anak cucu kita? Kita kuat karena kita beraneka ragam budaya, ras, etnis, suku dan keyakinan yang ada didalamnya.
Agama lahir agar dunia tidak kacau, karena itu maka jangan ciptakan kekacau-an bagi dunia hanya karena perbedaan Agama. kita diciptakan beraneka ragam, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk kita saling mengenal, bukan untuk saling menyakiti. kita lahir dari bumi yang sama, kita besar dengan bumi yang sama dan kita minum dengan air dari bumi yang sama, yaitu Bumi Indonesia. Adalah tugas kita bersama untuk merawat Bumi Indonesia dari semua ancaman kekacauan dari pihak-pihak yang ingin menghancurkan Persatuan Indonesia.
Salam Bhineka Tunggal Ika- Arlex.