PARAH! Luput dari Pantauan,Afit Rumagesan jadi bulan-bulanan Ketidak-adilan

by -1511 Views

PASTI Indonesia –  Beberapa waktu lalu, tepatnya antara tahun 2019 hingga 2020, Masyarakat Fakfak dihebohkan dengan pemberitaan beberapa mantan anggota DPRD Kabupaten Fakfak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pinjaman lunak. Yakni Wilhelmina Woy, AR Mohmiangga dan Afit Rumagesan. Anehnya dalam kasus tersebut dari sekian banyak anggota Dewan yang juga melakukan peminjaman lunak, hanya 3 orang ini ditetapkan sebagai tersangka, ditahan hingga berproses hukum. Yang dimana saat ini, Wilhelmina Woy sendiri sudah bebas murni, sedangkan Afit Rumagesan harus menjalani Putusan “Aneh” yang dimana Hukuman Tambahannya lebih tinggi daripada Vonis Hukuman Pokok.

Kasus ini sendiri jika ditelaah dengan baik, banyak kejanggalan dan keanehan dan lebih terkesan pada “Kasus Pesanan”. Karena apa? Cukup lucu ketika dari 20 anggota Dewan, dimana 18 Anggotanya melakukan peminjaman lunak, namun hanya 3 tersangka. Belum lagi, Bendahara dan Sekwan DPRD Kabupaten Fakfak saat itu tidak ikut serta ditetapkan sebagai tersangka! Karena tentunya pencairan dana tersebut terdapat andil mereka.

Permohonan Bantuan Hukum AFIT kepada PASTI Indonesia

PASTI Indonesia, setelah menerima surat permohonan Bantuan Hukum dari Saudara Afit Rumagesan, segera melakukan kajian dan telaah hukum. Dan tentunya menemukan banyak sekali kejanggalan dan lebih tepatnya mengarah sebagai “Kasus pesanan”. Samahalnya dengan kasus yang dialami oleh kader Partai Gerindra Fakfak, Edward Budiman Go, kasus sepele yakni pengrusakan kantor Sekwan DPRD Kab Fakfak yang dimana dipicu oleh persoalan dana yang sengaja dipersulit oleh Bendahara Sekwan, yakni Baharudin Lahadila yang juga adik daripada terlapor Skandal “Mega Korupsi Proyek Fakfak” yang kini menjadi Menteri, Bahlil Lahadalia. Sehingga menyebabkan kemarahan anggota dewan tersebut ( (+)Semuel Hegemur dan Edward Budiman Go)  sehingga melakukan pengrusakan.

Pengrusakan kantor Sekwan, yang terjadi saat itu yakni pada tanggal 31 Agustus 2017, segera di proses oleh Kajari saat itu yang juga “Maling” asset Pemda Kabupaten Fakfak (Kendaraan Dinas Kejaksaan yang dibawa lari saat dimutasi dari Kejaksaan Negeri Fakfak, berupa Pajero Sport), yakni Rilke Jeffy Huwae. Yang kini Jefri Huwae sendiri sudah menjabat sebagai Kabag Hukum Kementerian Penanaman Modal. (tentunya ini tidak mengherankan, hukum balas budi dan simbioses mutalisme berjalan dengan baik antara Bahlil selaku menteri dengan Jefri Huwae selaku orang yang banyak mengamankan perkara Korupsinya selama menjabat sebagai kajari Fakfak).

Kembali lagi soal pengrusakan kantor sekwan, kasus ini di proses dengan lancar oleh Jefri Huwae, padahal sebelumnya tepatnya pada tanggal 1 Desember 2016 juga terjadi hal serupa yakni pengrusakan kantor Sekwan, oleh 3 orang anggota Dewan, dengan persoalan yang sama. Namun tidak ada proses hukum, dan Kepala kejaksaan Negeri Fakfak saat itu juga adalah Jefri Huwae!

Putusan Hukum yang Aneh dan Proses Tebang Pilih oleh Jaksa dari Kejaksaan Negeri Fakfak

Sepertinya PASTI Indonesia belum memiliki gambaran baik terkait dengan kinerja Kejaksaan Negeri Fakfak, jika kasusnya adalah kasus besar dan sudah di pantau oleh Kejaksaan Agung, sebagaimana kasus Korupsi Untung Tamsil, Kejaksaan Negeri Baru mulai bergerak, itupun diawal saja. Terkait dengan persoalan Dana Pinjaman Lunak yang menimpa Afit Rumagesan, PASTI Indonesia melihatnya tidak lebih dari kasus PESANAN, dan ini juga bisa dibuktikan, jika memang pihak Kejaksaan Negeri mau sama-sama gelar persoalan ini di JAMWAS. PASTI Indonesia menyimpan dengan lengkap semua rekam jejak Penegak Hukum di Fakfak, baik itu dari Institusi Kepolisian Resort Fakfak maupun Kejaksaan Negeri Fakfak.

Jika ingin berbicara soal penegakkan hukum, PASTI Indonesia memiliki lengkap LHP BPK mulai dari 2011 sampai dengan saat ini, dan kita bisa kaji dan telaah temuan BPK yang di tutupi! Dan kita bisa membuka kembali beberapa laporan kasus Korupsi yang berpredikat “Peti ES” di Kejaksaan Negeri Fakfak, mulai dari Bandara Siboru sampai dengan dana Hibah.

Sebagai Pengingat, Kejaksaan Negeri Fakfak, telah abai dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum, dan mempertontonkan ketidak-adilan. Dimana jika kasus pesanan maka hal itu di proses dengan cepat, dan jika terdapat “Perintah, Amankan”, maka hal itu juga di maenkan dengan baik. Sebagaimana contoh pada mantan Bupati Wahidin Paruada, dalam putusan Kasasi dengan nomor 2372 K/PID.SUS/2013 dengan Hakim Agung ARTIDJO AlKOSTAR. Menyatakan bahwa Wahidin Paruada harus tetap berada di tahan dan berada dalam tahanan, namun faktanya pada tahun 2016, Wahidin Paruada ada di Jakarta dan dengan bebas berkeliaran. Dan Kejaksaan Negeri Fakfak tidak melakukan penahanan.

Putusan Aneh Pengadilan Negeri Manokwari

Bukan kali ini saja putusan aneh dipertontonkan oleh Pengadil dari Pengadilan Tipidkor Pengadilan Negeri Manokwari, dengan mengacu pada putusan mantan Bupati Fakfak, Wahidin Paruada, pada Putusan dengan Nomor : 2/PID.SUS/2012/P.tipikor_MKW tertanggal 18 juli 2012, Tindak Pidana Korupsi yang sudah terang benderang, namun di vonis dengan bebas. Dan kerugian negara tercatat hanya senilai 400 juta rupiah, atau di ganti dengan kurungan penjara selama 8 (delapan) bulan.

Jadi dari sini kita bisa melihat, seperti apa keadilan dalam dunia peradilan khususnya Pengadilan Negeri Manokwari.

Bercermin pada putusan tersebut diatas, jika diperbandingkan dengan putusan Afit Rumagesan yakni putusan dengan nomor : 15/Pid.sus-TPK/2020/PN.MNK diketahui bahwa vonis terhadap Afit Rumagesan adalah Pidana Pokok, Hukuman Penjara selama 1 Tahun dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (terbilang lima puluh juta rupiah)  yang dimana apabila denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti dengan hukuman penjara selama 1 bulan.  Dan Pidana tambahan berupa uang penganti kerugian negara yakni sebesar 432.425.000,00.– (empat ratus tiga puluh dua juta empat ratus dua puluh lima ribu rupiah). dengan ketentuan apabila terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut;jika terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 3 ( tiga ) tahun;

Nah ini menjadi sebuah kejanggalan! sebuah hukuman tambahan yang seharusnya sesuai dengan Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor, yang menegaskan bahwa:

Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Maka tidak boleh lebih tinggi daripada hukuman pokok, sedangkan vonis hukuman pokok Afit hanya 1 tahun, berdasarkan apa? hakim kemudian menetapkan Rp. 432.425.000,00 itu setara dengan hukuman pidana 3 Tahun Penjara?!!!

Kita dapat menemukan beberapa putusan lain, yang tambahan hukuman berupa pengantian uang kerugian negara, yang jumlahnya lebih besar dari 432 juta rupiah, namun penganti pidananya jauh lebih ringan, Diantaranya :

61 K/Pid.Sus/2010 Rp.476.000.000 3 bulan
11 K/Pid.Sus/2010 Rp.599.550.000 8 bulan
20 K/Pid.Sus/2010 Rp.673.101.293 6 bulan
1/K/Pid.Sus/2010 Rp.681.045.454 6 bulan
 (No Perkara)  (Uang Penganti)  (penganti pidana)

Bekerja untuk keadilan atau menegakkan pesanan? tentu hal ini harus di perjelas nanti di Komisi Yudisial.

Seorang Hakim tentu memiliki Pedoman dan Kode Etik,sebagaimana tertuang dalam KEPUTUSAN BERSAMA MAHKAMAH AGUNG RI DAN KOMISI YUDISIAL RI 02/PB/MA/IX/2012 -02/PB/K.KY/09/2012 TENTANG PANDUAN PENEGAKAN KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM. Maka setiap keputusan yang diambil oleh Hakim selaku ujung tombak penegakan hukum, setiap keputusannya harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan yang terpenting adalah nilai Keadilan!

Namun Faktanya, dengan melihat pada produk putusan yang dikeluarkan oleh Hakim Tipidkor dalam kasus ini, sulit rasanya kita menemukan rasa keadilan.

Pandangan PASTI Indonesia

Kasus Pinjaman Dana lunak ini bagi PASTI Indonesia adalah sebuah Blunder yang di pertontonkan oleh mereka yang mengaku sebagai Aparatur Penegak Hukum, dimana unsur tebang pilih dengan jelas di perlihatkan pada khalayak umum dengan hanya mengincar 3 dari 18 orang.

Seharusnya selama dalam penyelidikan dan penyidikan, harus dilihat apakah unsur Korupsi itu memenuhi? Sebagaimana bukti yang dikirimkan kepada PASTI Indonesia dan berdasarkan telaah PASTI Indonesia, tindakan yang dilakukan oleh AFIT Rumagesan bukanlah tindakan Korupsi guna memperkaya diri, bahkan sampai detik ini bisa di audit harta kekayaan Afit dan aliran dana tersebut apakah dipergunakan untuk kebutuhan pribadi yang bersangkutan.

Sebagai Anak Negeri Kokas, yang notabenenya seharusnya cukup diketahui oleh Pihak Kejaksaan Negeri Fakfak, Kokas memiliki akses yang cukup jauh dari pusat kota kabupaten Fakfak, dan mayoritas masyarakat belum merasakan pembangunan yang merata. Oleh karena itu, ketika masyarakat yang membutuhkan datang kepada Afit, selaku Wakil Rakyat. Maka dengan rasa terpanggilanya dan kepeduliannya, Afit mengupayakan segala hal yang dapat meringakan masyarakat yang betul-betul membutuhkan. Walau pun itu harus dengan cara meminjam dana lunak.

Hal ini bisa di buktikan, dengan tidak adanya aliran dana yang masuk ke kantong pribadi Afit Rumagesan, dan di pertegas dengan kesediaan para Tokoh dan Tetua Adat Kokas yang dalam persidangan Afit sendiri menyatakan kesiapannya menjadi penjamin dan mengumpulkan uang untuk menganti kerugian negara, karena hakikatnya uang tersebut dipakai oleh masyarakat yang membutuhkan! Namun hal ini seolah dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar utama pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Justru apa yang Afit lakukan itulah yang seharusnya dilakukan oleh para anggota dewan dan Kepala Daerah, masyarakat yang membutuhkan menjadi prioritas, bukan memperkaya diri seperti yang dilakukan oleh beberapa anggota dewan di DPRD Kabupaten Fakfak termasuk dengan Bupatinya.

PERSOALAN ini hakikatnya adalah Ulah KRONI Jahat terstruktur yang berupaya agar Anak Negeri “di Matikan Kariernya” dinegerinya sendiri.

Apa yang terjadi di fakfak ini, baik dengan apa yg di alami oleh Edward Budiman Go, korban kriminalisasi Pengurusakan kantor sekwan hingga Wilhelmina Woy dan Afit Rumagesan. Tidak lebih dari intrik yang memang sengaja di maenkan. Kasus tebang pilih Wilhelmina Woy dan Afit Rumagesan tidak lebih upaya agar Anak Negeri tidak maju dalam Pilkada Fakfak 2020.

Penahanan Wilhelmina Woy kala itu merupakan bagian dari skandal untuk membunuh karakter salah satu kandidat di pilkada fakfak, yang dimana Wilhemina Woy menjadi salah tim sukses bagi kandidat tersebut.

Dan pada akhirnya semua Penjahat itu berkumpul menjadi satu, dibawah terlapor Mega Skandal Korupsi Kabupaten Fakfak, Bahlil Lahadalia. Bisa kita temukan, dimanakan mantan Kajari Fakfak, Jefri Huwae saat ini, tidak lebih menjadi Kabag Hukum kementerian Penanaman Modal dan Investasi.

PASTI Indonesia akan menghadap Komisi Yudisial dan JAMWAS

PASTI Indonesia karena baru menerima surat permohonan bantuan, yang di susul dengan beberapa bukti, dan dalam fase pendalaman materi dan fakta, akan segera melakukan pelaporan tertulis kepada Komisi Yudisial terkait dengan perilaku Hakim pada putusan Afit Rumagesan, serta akan menghadap langsung kepada JAMWAS untuk melakukan pelaporan terkait dengan kinerja Jaksa yang menanggani kasus ini. Serta mempertanyakan perkembangan terakhir terkait kasus Korupsi Bupati Fakfak untuk Tamsil yang dimana penangganannya dirasa cukup lambat.

PASTI Indonesia mungkin akan melayangkan permohonan Grasi kepada Presiden atas putusan Afit Rumagesan yang jauh daripada rasa keadilan, karena apa yang Afit Rumagesan lakukan justru membuat masyarakat di pelosok merasakan adanya Pemerintah. Karena selama ini masyarakat di pelosok sendiri sulit mendapatkan bantuan. Bantuan Pusat biasanya menjadi bahan sunatan dari para pejabat daerah!

Ketidak adilan dan ketimpangan yang terus di pertontonkan oleh para penegak Hukum Republik ini ditanah papua hanya akan membawa Papua semakin menderita dan merasa jauh dari kecintaan terhadap Negara ini.

Jika hal semacam ini tidak dihentikan, maka tidak dapat disalahkan juga, bahwa dalam benak mayoritas masyarakat papua, mungkin Lepas dari Indonesia lebih baik, karena banyaknya tipu-tipu yang di pertontonkan oleh para oknum penegak hukum disana. Karena itu Pemerintah Pusat harus lebih tegas, kepada para keparat yang bersembunyi dibalik seragam aparat. (Lex)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.