(Sebuah Potret Ketidak-Adilan Dalam Negara Demokrasi)
Pasti Indonesia, Jakarta. Dalam sepuluh hari terakhir, Amerika Serikat menghadapi gelombang demonstran dalam jumlah besar menentang kematian George Floyd. Floyd diketahui tewas setelah lehernya ditindih oleh Derek Chauvin, polisi yang menanggapi laporan bahwa korban memberi barang dengan uang palsu. Gelombang protes pun meluas secara nasional, bahkan terjadi di luar Gedung Putih. Publik marah setelah video viral, yang memperlihatkan momen ketika leher Floyd ditindih oleh Chauvin selama hampir sembilan menit. “Aku tak bisa bernapas.” Begitulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh George Floyd kepada Derek Chauvin, sebelum dia tidak bergerak. Karena aksinya itu, Chauvin tak hanya dipecat dari Kepolisian Minneapolis, namun juga ditangkap pada Jumat pekan lalu (29/5/2020). Saat ini, dia dijerat dengan tiga pasal, yakni pembunuhan tingkat tiga, pembunuhan tingkat dua, dan pembunuhan tak berencana tingkat dua. Selain Chauvin, ketiga rekannya, Thomas Lane, Tou Thao, dan J Alexander Kueng dijerat bersekongkol yang berujung pada pembunuhan Floyd. Pemecatan dan sikap tegas terhadap polisi brutal diputuskan bukan karena sistem keadilan AS yang apil, melainkan karena video rekaman pembunuhan Floyd viral. Protes dan kerusuhan mengemuka di seantero Amerika. Presiden Donald Trump, melalui Twitter dan mengutip Fox News, mencontohkan bahwa kini “kekacauan, pelanggaran hukum, dan kehancuran mengambil alih New York”. Lebih lanjut, Trump berkicau bahwa saat ini “hanya Washington DC yang menjadi tempat teraman di Bumi”.
Sebelum Floyd, yang cukup menyita perhatian publik atas diskriminasi rasial di AS menimpa Ahmaud Arbery, pemuda kulit hitam berusia 25 tahun yang tewas dibunuh oleh Travis McMichael dan ayahnya Gregory, mantan polisi, ketika sedang jogging di wilayah Satilla Shores, Glynn County, Georgia, AS. Arbery seketika ditembak ayah-dan-anak karena disangka sebagai penjahat yang sedang berlari melarikan diri. Travis dan Gregory McMichael tak sedikit pun bertanya kepada korban. Wanda Cooper-Jones, ibunda Arbery, menyebut bahwa anaknya tewas “bahkan tanpa diberikan kesempatan hidup, kesempatan membela diri”.
Rasisme di Indonesia
Aksi protes terhadap rasisme tidak saja terjadi di AS, fenomena ini pula terjadi di Indonesia khususnya di Papua. Diskriminasi dan tindakan rasis dengan ujaran “MONYET” kepada sejumlah Mahasiswa Papua yang tinggal di Asrama Kamasan Surabaya Jawa Timur pada Jumat (16/8/19). Sontak saja menimbulkan reaksi protes dari sejumlah massa rakyat di seantero tanah Papua. Ribuan massa tumpah-ruah di jalan raya menentang tindakan diskriminasi dan rasisme yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua. Bentrokan antara aparat keamanan dan massa aksi pun tidak dapat dihindari. Bahkan sejumlah fasilitas publik dan perkantoran menjadi sasaran amukan massa.
Tentu saja reaksi berlebihan yang dilakukan massa aksi ini bukan tanpa alasan yang jelas. Mengingat tindakan rasisme dan diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua merupakan peristiwa berulang yang kerap dialami namun tidak mendapat perhatian dan sorotan Pemerintah Indonesia.
Menanggapi fenomena Black Lives Matter di AS dan Rasisme di Papua, Ketua Perhimpunan Pasti Indonesia Nicodemus. R dalam keterangannya kepada media ini menjelaskan bahwa dirinya sangat menyesal kejadian tewasnya Floyd warga kulit hitam AS yang dilakukan oleh Derek Chauvin aparat Kepolisian Minneapolis. Namun dilain sisi AS telah menunjukan kedewasaan demokrasinya di mata dunia, dimana pelaku pembunuhan tak berencana ini langsung di tangkap dan dijerat dengan tiga pasal, yakni pembunuhan tingkat tiga, pembunuhan tingkat dua, dan pembunuhan tak berencana tingkat dua. Tidak sebatas itu saja Chauvin juga dipecat dari Kepolisian akibat perbuatannya tersebut. Berbeda dengan yang praktekan di Papua, para pelaku rasisme yang oleh salah satu pimpinan ormas di Surabaya, terkesan dihukum dengan ancaman ringan bahkan parahnya lagi aparat keamanan yang jelas-jelas terlibat bentrokan dengan massa pendemo yang berujung pada tewasnya beberapa orang dalam aksi di Papua ini, terlihat bebas berkeliaran dan tanpa adanya tindakan disiplin alias hukum yang menjerat mereka.
Lebih jauh ditegaskan oleh Nico (Sapaan akrab Pimpinan Pasti Indonesia-Red) Indonesia mestinya belajar dari AS khususnya dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku rasisme. Karena faktanya dalam implementasi hukum di Indonesia masih terbilang tebang pilih dan kurang berpihak terhadap Rakyat Papua. Lihat saja para pelaku rasis yang nota benenya merupakan pemicu gelombang protes di Papua pada agustus 2019 lalu. Justru mereka hanya dijerat hukuman 2 – 8 Bulan Penjara. Lebih fatal lagi para aparat keamanan sebagai pelaku utama tewasnya sejumlah rakyat sipil di Papua, malah terlihat kebal terhadap hukuman.
Justru para pendemo rasisme yang tertangkap dan nota benenya adalah korban, malah dikenakan pasal makar serta dijatuhi hukuman kurungan selama 5-15 Tahun. Potret perbuatan yang dilakukan negara terhadap rakyat Papua ini sesungguhnya tidak mencerminkan kedewasaan berdemokrasi dalam negara Pancasila. Oleh karenanya pimpinan Pasti Indonesia ini berharap Presiden Joko Widodo dapat mengambil langkah bijak dan cepat dalam menyikapi persoalan yang menimpa para korban rasisme saat ini, karena jika tidak direspon dengan baik tentunya dikhawatirkan gejolak Black Lives Matter di AS bisa saja berdampak hingga munculnya gelombang aksi protes baru di Papua alias Papua Lives Matter. Tutup Nico. Red …